Sultan Abdul Khair Sirajuddin adalah
putra dari Sultan Mbojo Bima pertama bernama Abdul Kahir memerintah
tahun 1620 – 1640. Setelah ayahnya mangkat pada tanggal 22 Desember 1640
dan dimakamkan di atas puncak bukit Dana Taraha (Doro Raja), tongkat
Kesultanan diambil alih oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin.
Pada masa pemerintahannya, Kesultanan
Mbojo mengalami jaman kejayaaan. Menjadi pusat perniagaan dan pusat
penyiaran agama Islam, di wilayah Nusantara bagian Timur bersama
Makassar.
Pejuang sejati pantang untuk berhenti
berjuang. Apalagi untuk berkhianat. Tabu bagi Sultan untuk menghianati
dou labo dana. Sultan sebagai hawo ro ninu, harus mampu mengamalkan
falsafah toho mpa ra nahu sura dou labo dana. Itulah sebabnya Sultan
bersama puteranya Nuruddin melanjutkan perjuangan di tanah Jawa.
Di sekitar tahun 1673, Sultan Abdul Khair
Sirajuddin bersama puteranya Nuruddin berangkat ke Madura. Para laskar
setia dan gagah perkasa ikut besama sultannya.
Di Madura laskar Sultan bergabung dengan
laskar Karaeng Bonto Maranu, untuk membantu Pangeran Trunojoyo. Sudah
merupakan takdir, kedua pejuang sejati bertemu di Madura.
Di Madura, Karaeng Bonto Maranu sudah
berganti nama dengan Karaeng Galesong. Agar tidak diketahui oleh
Belanda. Sebab kalau diketahui pasti akan ditangkap Belanda sesuai
dengan isi perjanjian Bongaya.
Hal yang sama dilakukan oleh Sultan Abdul
Khair Sirajuddin. Kehadirannya di Jawa dirahasiakan, agar tidak
ditangkap oleh Belanda, berdasarkan perjanjian Bongaya pula. Itu
sebabnya ada orang yang menyangka, bahwa yang berangkat ke Jawa adalah
puteranya, Nuruddin.
Pada tahun 1677, pasukan Belanda dapat
dipukul mundur oleh pasukan Trunojoyo dengan bantuan Sultan Abdul Khair
Sirajuddin dan Karaeng Galesong. Karena pasukannya terdesak, maka pada
tahun 1679, Belanda mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Dari
Batavia, Belanda mengirim pasukan Aru Palaka dan Kapten Yonker. Untuk
kedua kalinya Aru Palaka dan Kapten Yonker diperalat oleh Belanda untuk
berperang dengan teman sedarah dan sebangsa.
Kehadiran pasukan Aru Palaka dan Kapten
Yonker, amat menguntungkan Belanda. Pasukan Trunojoyo bersama laskar
Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan Karaeng Galesong dapat dipukul mundur.
Pada tanggal 27 Desember 1679, Belanda berhasil mengalahkan Trunojoyo.
Karaeng Galesong gugur di perairan Selat Madura. Sultan Abdul Khair
Sirajuddin terus berjuang melawan Belanda.
Sewaktu di Madura, Sultan Abdul Khair
Sirajuddin menikah dengan seorang adik Pangeran Trunojoyo. Hal yang sama
dilakukan pula oleh Karaeng Galesong. Tetapi ada sebagian ahli sejarah
yang mengatakan, bahwa yang menikah dengan adik Trunojoyo bukan Sultan
Abdul Khair Sirajuddin, melainkan puteranya Nuruddin.
Terlepas mana yang benar dari dua
pendapat itu, tetapi yang pasti dari perkawinan itu lahir seorang putri
yang kelak menjadi nenek dari Pangeran Diponegoro, pahlawan Nasional
kita. Jadi dalam tubuh Pangeran Diponegoro mengalir darah Jawa, Mbojo
dan Madura.
Perahu cita-cita sedang berlayar ke pulau
idaman. Walau bagaimana besar gelombang dan badai, haram untuk kembali
sebelum cita-cita dapat digapai. Begitulah ibarat perjuangan Sultan
Abdul Khair Sirajuddin bersama puteranya.
Setelah menderita kekalahan di Jawa
Timur, keduanya berangkat ke Banten Jawa Barat guna membantu Sultan
Ageng Tirtayasa dalam melawan Belanda.
Di Jawa Barat Sultan Abdul Khair
Sirajuddin bertemu dengan Karaeng Popo. Teman lama dan teman
seperjuangannya, sewaktu keduanya berjuang melawan Belanda di Makassar
pada tahun 1660. kedua teman setia bertekad untuk membantu Sultan Ageng
Tirtayasa.
Tetapi apa hendak dikata, di Jawa Barat
pun mereka menderita kekalahan. Karena putera Sultan Ageng Tirtayasa
yang bernama Sultan Haji berkhianat kepada ayah kandungnya. Ia diperalat
Belanda untuk mengalahkan ayahnya sendiri. Sungguh perbuatan yang amat
tercela.
Dalam perang itu, Sultan Abdul Khair
Sirajuddin dan Nuruddin bersama laskarnya pernah ditangkap Belanda.
Mereka ditawan di Batavia, tempat mereka ditawan disebut Tambora
terletak di Jakarta Kota, wilayah Jakarta Barat sekarang. Sekarang nama
Tambora sudah menjadi nama Kelurahan dan Kecamatan. Masjid yang
didirikan oleh mereka sampai sekarang masih ada. Oleh pemerintah sudah
dijadikan cagar budaya yang harus dilindungi.
Setelah dapat dikalahkan di Jawa Barat, Sultan bersama puteranya Nuruddin dan laskar setia kembali ke Dana Mbojo Bima tercinta. Bersama mereka, ikut pula Karaeng Popo
dan ulama besar dari Banten yang bernama Syekh Umar Al Bantami. Kedua
pejuang itu akan membantu Sultan Abdul Khair Sirajuddin dalam membangun
Kesultanan Mbojo Bima.
Setelah berjuang tanpa mengenal menyerah,
Sultan Abdul Khair Sirajuddin kembali kehadapan Yang Maha Kuasa. Beliau
mangkat pada tanggal 17 Rajab 1093 H (22 Juli 1682). Dimakamkan di ToloBali. Sultan Abdul Khair Sirajuddin sudah tiada, perjuangannya tidak sia-sia.
(Dikutip dari Kesultanan Mbojo Bima Dalam Melawan Penjajah, M. Hilir Ismail)
0 comments: