Tentang Kesultanan Bima

Posted by Unknown

Sultan Abdul Kahir diangkat sebagai sultan pertama pada tanggal 5 Juli 1620 M. Sebelumnya Sultan Abdul Kahir bernama asli La Ka’i, namun setelah Putra Mahkota La Ka’i bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak saat itu, putra mahkota La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir, sementara pengikut La Ka’i yaitu ‘Bumi Jara Mbojo berganti nama menjadi Awaluddin, dan Manuru ‘Bata putra Raja Dompu berganti nama menjadi Sirajuddin.

Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas, sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, sehingga di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.

Agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima saat itu, karena beberapa alasan. Jauh sebelum diberlakukannya secara resmi Islam sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu, bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kemudian peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima.
Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup danmatinya orang Bima dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan “Hadat Tanah Bima”, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan Kitabnya.

Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari.

Pada masa kesultanan juga diberlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum “Syara” atau “Mahkamah Tussara’iyah”, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istambul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji asal Bima yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.

Search

Twitter updates

Kategori