Kemelut Politik Di Kerajaan Bima Abad XVII
Pembunuhan politik itu dilakukan terhadap keturunan Raja Mantau Asi Sawo yaitu Sarise, Sangaji Samara dan putera mahkota yang dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera atau yang dikenal dalam sejarah Bima dengan Ruma Ma Mbora Di Mpori Wera. Peristiwa itu direkam dalam Kitab BO sebagai sumber sejarah Bima sebagai berikut:
“ Setelah itu berawal mulanya, maka berkatalah orang dalam negeri itu mau mengangkat tuan kita Ma Mbora Di Mpori Wera. Maka didengar oleh tuan kita Mantau Asi Peka, maka disuruhnya Bumi Luma Rasanae untuk membuat perburuan di Mpori Wera itu. Setelah datang di Mopri Wera, maka disruhunya sekalian orang banyak membakar rumput itu, maka hilanglah Tuan kita (Jena Teke) ketika itu.” (Ibid, tahun 1070 H.)
Sasaran selanjutnya dari aksi pembunuhan poltik Salisi adalah Putera Mahkota La Ka’i yang baru berusia 9 tahun. Mendengar bocoran informasi itu, Panglima Perang Kerajaan Bima yang setia kepada keturunan Mantau Asi Sawo yang bernama Rato Waro Bewi beserta beberapa pejabat kerjaan terpaksa mengamankan La Ka’i dan dibawa ke Desa Teke. Di tempat pengasingan inilah La Ka’i terus dibina dan dilatih fisiknya terutama dalam kaitannya dengan taktik perang. Berawal dari sinilah, maka setiap putera mahkota kerajaan Bima dijuluki dengan Jena Teke. Hingga beberapa tahun lamanya, La Ka’i bersama sepupunya putera Mahkota Kerajaan Dompu yang bernama Manuru Bata dibina di desa Teke ini. Sebuah desa yang terletak di timur kecamatan Palibelo sekarang.
Salisi semakin berang, dia mencoba untuk terus menangkap La Ka’i dengan meminta bantuan kepada Belanda. Perjanjian lisan antara Salisi dengan Belanda terjadi di Ncake (Sekarang Cenggu Bima) pada tahun 1605. Perwakilan Belanda yang hadir di Cenggu saat itu bernama Stephen Van Hagen. Karena Teke dalam incaran Salisi, Rato Waro Bewi membawa La Ka’i ke puncak Gunung Kalodu tepatnya di dusun Kamina desa Kalodu sekarang. Kalodu terletak di sebelah tenggara Bima merupakan puncak gunung tertinggi di Bima. Sejak saat itu Kalodu menjadi pusat persembunyian dan basis perjuangan La Ka’i yang mulai beranjak remaja untuk merebut kembali tahta kerajaan.
Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Ka’i bersama pengikut berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan Raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621 ) Jena Teke La Ka’i bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I diganti dengan Abdul Kahir. Bumi Jara Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin.
Sejak saat itu Abdul Kahir memerintahkan seluruh pejabat kerajaan dan seluruh rakyat Bima untuk memeluk Islam yang diawali dengan sumpah di atas sebuah batu yang berlokasi di Parapi (Bendungan Parapi Sape ). Sumpah itu juga dikenal dengan Sumpah “ Darah Daging “ karena mereka mengiris jari masing-masing kemudian darahnya diminum secara bersama-sama sebagai wujud kesetiaan terhadap Islam.
Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.
Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang yang selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara) pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).
Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh sejarah itu kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima. (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
menarik untuk ditelusuri lebih mendalam,